Home » , , » Soal BPJS Haram, Dinkes Kota Tolak Fatwa MUI

Soal BPJS Haram, Dinkes Kota Tolak Fatwa MUI

KESAMBI- Fatwa MUI Terkait haramnya sistem BPJS Kesehatan masih menuai pro dan kontra.  
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon menyatakan tidak sepakat terkait fatwa MUI yang mengharamkan program BPJS Kesehatan belum lama ini.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon Edy Sugiarto menegaskan, prinsip utama BPJS Kesehatan adalah gotong-royong dan menggunakan konsep nirlaba.
Artinya, kata Edi, secara tidak langsung peserta BPJS kesehatan saling membantu sesama peserta melalui premi dengan biaya yang murah.
“Di Indonesia hanya program BPJS yang paling bagus ketimbang program yang lain karena yang sehat membiayai yang sakit. Beda dengan asuransi swasta yang semakin parah sakitnya, pembayaran premi justru semakin besar,” tegas Edy kepada Rakcer, Jumat(31/7).
Dia menegaskan, secara nasional BPJS selalu mengalami kerugian mencapai Rp1,5 triliun per bulan. Hal itu terjadi, karena kebanyakan membiayai orang sakit, baik masuk kualifikasi sakit berat maupun ringan.
Edy pun menganggap fatwa itu keliru, terlebih program yang memegang prinsip gotong-royong itu secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk beramal.
“Misalnya si A sakit dan harus cuci darah, dan si A dibantu oleh 80 peserta BPJS yang masih sehat untuk membiayai cuci darahnya itu. Lalu di mana letak ribanya?” tegasnya.
Menurutnya, ulama-ulama yang ada di MUI kurang input dan pengetahuan mengenai BPJS kesehatan. Pihaknya tetap tidak setuju dengan fatwa MUI yang mengharamkan BPJS Kesehatan.
Edi menilai ada kekeliruan dari pihak MUI menilai BPJS. Edi menganggap bahwa MUI terlalu menyamakan BPJS dengan asuransi yang konvensional. 
Padahal, jelas Edi, BPJS dan asuransi konvensional punya perbedaan yang mendasar.
“Saya pribadi tidak setuju dengan fatwa itu, kalau asuransi konvensional memang saya akui tidak syariah karena tidak menjamin uang kembali jika tidak ada klaim. Namun BPJS itu adalah sistem gotong royong antar sesama warga Indonesia, jadi yang sehat bisa membantu menyembuhkan yang sakit,” papar Edi.
Edi menilai, BPJS merupakan program terbaik dari pemerintah di sektor kesehatan. Perhitungan angsuran premi pun tidak ‘mencekik’ seperti halnya asuransi konvensional. 
“Jika asuransi biasa, semakin berat sakitnya, semakin mahal preminya, jika BPJS tidak begitu. Mau kita cuci darah sekalipun preminya tetap Rp25 ribu,” jelas Edi.
Adanya program BPJS ini, lanjut Edi, bisa menolong lebih banyak orang sakit. Dalam kalkulasi BPJS, sebut Edi, satu orang sakit itu akan dibantu oleh sekitar 80 orang sehat lainnya di Indonesia melalui program BPJS.
“Artinya sistem itu luar biasa menolong, meski setahu saya pemerintah melalui BPJS itu rugi sekitar Rp1,5 triliun setiap bulannya. Artinya BPJS itu nirlaba atau tidak menguntungkan satu atau dua pihak semata, saya jelas tidak setuju dengan pendapat MUI dari perspektif tersebut,” papar Edi.
Anda sedang membaca artikel tentang Soal BPJS Haram, Dinkes Kota Tolak Fatwa MUI Anda boleh menyebar luaskannya Artikel ini, namun jangan lupa untuk meletakkan link sumbernya.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.