LEMAHWUNGKUK- Perayaan Muludan memberikan berkah tersendiri bagi masyarakat sekitar Keraton Kesepuhan, diantaranya warga Cangkol dan Pulasaren. Perayaan setahun sekali tersebut dimanfaatkan dengan membuka lapak jualan ataupun parkir.
Seperti yang diakui oleh salah satu pedagang, Jumairoh (40) yang sudah berjualan di sekitar situs Sumur Ketandan hampir 10 tahun.
Diakuinya, pada bulan mulud seperti ini, ia mendapatkan omzet cukup besar dibandingkan dengan hari-hari biasa. “Kan pengunjungnya dari pagi hingga malam, ada saja yang beli. Jadi lumayan mas penghasilannya,” ujarnya.
Diungkapannya, dalam satu hari, ia mampu mengantongi uang lebih dari Rp300 ribu. Dibanding dengan hari-hari biasa, kata dia, jumlah tersebut cukup besar.
Keuntungan terbesar juga didapatkan oleh para juru parkir. Mereka mematok retribusi sebesar Rp2.000 hingga Rp3.000 untuk kendaraan bermotor.
Sedangkan untuk kendaraan roda empat sebesar Rp5.000 bahkan lebih.
Sementara itu, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cirebon, Masrur (23) mengatakan, pada saat perayaan muludan seperti itu, memang wajar masyarakat memanfaatkannya dengan berjualan dan penyedia jasa parkir.
Namun, kata Masrur, tetap harus menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung. “Apakah dengan tarif seperti itu pengunjung tak mengeluh? Dan apakah masuk kas daerah? Itu perlu dievaluasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Masrur, pemerintah Kota Cirebon melalui Dinas Perhubungan (Dishub), seharusnya mampu menertibkan nya. “Bayangkan, berapa besar retribusi yang dihasilkan selama muludan? Jika tiap kendaraan ditarik Rp3.000 ribu dan selama satu hari sebanyak 300 kendaraan. Maka jumlahnya Rp900.000, kemudian dikalikan jumlah titik parkir yang tersedia dan hari selama perayaan. Dari jumlah total tersebut, kata dia, berapa persen yang masuk kedalam khas daerah?,” katanya.
Dirinya tak menyalahkan warga memanfaatkan momen tersebut untuk menyediakan jasa parkir, selama hal itu tak merugikan pengunjung dan bisa memberikan masukan terhadap pemerintah. “Itu sah-sah saja. Tapi kalau tidak seperti itu. Ya perlu dipertanyakan,” imbuhnya.
Seperti yang diakui oleh salah satu pedagang, Jumairoh (40) yang sudah berjualan di sekitar situs Sumur Ketandan hampir 10 tahun.
Diakuinya, pada bulan mulud seperti ini, ia mendapatkan omzet cukup besar dibandingkan dengan hari-hari biasa. “Kan pengunjungnya dari pagi hingga malam, ada saja yang beli. Jadi lumayan mas penghasilannya,” ujarnya.
Diungkapannya, dalam satu hari, ia mampu mengantongi uang lebih dari Rp300 ribu. Dibanding dengan hari-hari biasa, kata dia, jumlah tersebut cukup besar.
Keuntungan terbesar juga didapatkan oleh para juru parkir. Mereka mematok retribusi sebesar Rp2.000 hingga Rp3.000 untuk kendaraan bermotor.
Sedangkan untuk kendaraan roda empat sebesar Rp5.000 bahkan lebih.
Sementara itu, aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Cirebon, Masrur (23) mengatakan, pada saat perayaan muludan seperti itu, memang wajar masyarakat memanfaatkannya dengan berjualan dan penyedia jasa parkir.
Namun, kata Masrur, tetap harus menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung. “Apakah dengan tarif seperti itu pengunjung tak mengeluh? Dan apakah masuk kas daerah? Itu perlu dievaluasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Masrur, pemerintah Kota Cirebon melalui Dinas Perhubungan (Dishub), seharusnya mampu menertibkan nya. “Bayangkan, berapa besar retribusi yang dihasilkan selama muludan? Jika tiap kendaraan ditarik Rp3.000 ribu dan selama satu hari sebanyak 300 kendaraan. Maka jumlahnya Rp900.000, kemudian dikalikan jumlah titik parkir yang tersedia dan hari selama perayaan. Dari jumlah total tersebut, kata dia, berapa persen yang masuk kedalam khas daerah?,” katanya.
Dirinya tak menyalahkan warga memanfaatkan momen tersebut untuk menyediakan jasa parkir, selama hal itu tak merugikan pengunjung dan bisa memberikan masukan terhadap pemerintah. “Itu sah-sah saja. Tapi kalau tidak seperti itu. Ya perlu dipertanyakan,” imbuhnya.
0 comments:
Post a Comment