Belum Disahkan, Raperda LP2B Rawan Gugatan
KUNINGAN – Rancangan peraturan daerah (Raperda) Perlindungan Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) hingga kini belum bisa disahkan menjadi perda karena rawan gugatan dari masyarakat.
Saat ini pun raperda tersebut masih dalam pembahasan pansus I DPRD. Demikian hal itu disampaikan salah seorang anggota Pansus I DPRD, Saldiman Kadir, kepada Rakcer, akhir pekan kemarin.
Menurut Saldiman, pengesahan raperda tersebut sangat dilematis, karena satu sisi akan menimbulkan konflik di masyarakat yang berujung gugatan, di sisi lainnya jika tidak segera disahkan menjadi perda maka lahan pertanian terancam bakal terus berkurang karena alih fungsi lahan.
“Kalau diterapkan, sawah yang telah ditetapkan jadi LP2B itu tidak boleh dialihfungsikan selama 20 tahun. Jika dilanggar maka didenda Rp50 juta dan kurungan penjara selama 6 bulan. Ini perlu kajian mendalam, jangan sampai dianggap enteng. Makanya kita juga sebenarnya sedang dalam kondisi dilematis dalam masalah pengesahan raperda ini,” kata Saldiman.
Untuk itu, anggota Fraksi Demokrat ini meminta agar semua pihak bersikap hati-hati dalam membahas raperda LP2B. Sampai saat ini pun menurutnya, belum ada kejelasan pemetaan wilayah, mana area sawah yang masuk LP2B dan mana yang bukan. Untuk area 11.700 hektar sesuai RTRW pun belum dipastikan lokasinya.
“Waktu kita meminta ke Bappeda dan instansi terkait lain, ternyata data tidak dimiliki. Cuma ada zona-zona saja, ini zona industri dan zona galian C. Sedangkan untuk zona produktivitas dan sebagainya itu belum jelas,” ungkap Saldiman.
Padahal, menurut dia, seharusnya pihak-pihak terkait segera memberikan data akurat terkait hal itu. Kekurangan data tersebut, dinilainya akibat lemahnya koordinasi antar SKPD. Untuk itu, pihak eksekutif dimintanya untuk segera melakukan evaluasi. Master plan pembangunan yang seharusnya dijadikan acuan mesti dibuka kembali.
“Ini menyangkut hak masyarakat. Kita tidak bisa sembarangan menetapkan perda. Kita butuh data pemetaan yang jelas biar lebih akurat dan perdanya berbobot. Naskah akademiknya juga gak ada. Kalau dipaksakan untuk disahkan, ini bahaya,” kata Saldiman.
Sementara itu, Sekretaris Pansus I DPRD dari PPP, H Uus Yusuf SE, berharap agar sosialisasi ke masyarakat lebih dikedepankan sekaligus dilakukan pemetaan wilayah. Sebab, pengesahan Raperda tersebut dinilai rawan apabila tanpa sosialisasi.
“Bagaimana kalau anak dari pemilik sawah yang sudah ditetapkan jadi LP2B ingin membangun rumah sebelum 20 tahun, sementara lahan yang dimililiki cuma itu? Masa harus bayar denda dan dipenjara?,” ujar Uus penuh tanya.
Sama seperti Saldiman, Uus pun menegaskan jika Pansus I sangat membutuhkan data pemetaan. Prioritas LP2B itu disarankan tanah-tanah pemerintah atau bengkok, baru melangkah pada tanah perorangan.
“Selama ini data 11.700 hektar lahan sawah pun belum jelas. Jadi, memang dilematis dalam raperda ini. Perlu adanya sosialisasi dulu kepada masyarakat. Kita tidak sembarangan mengesahkan raperda LP2B ini,” pungkas Uus.
KUNINGAN – Rancangan peraturan daerah (Raperda) Perlindungan Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) hingga kini belum bisa disahkan menjadi perda karena rawan gugatan dari masyarakat.
Saat ini pun raperda tersebut masih dalam pembahasan pansus I DPRD. Demikian hal itu disampaikan salah seorang anggota Pansus I DPRD, Saldiman Kadir, kepada Rakcer, akhir pekan kemarin.
Menurut Saldiman, pengesahan raperda tersebut sangat dilematis, karena satu sisi akan menimbulkan konflik di masyarakat yang berujung gugatan, di sisi lainnya jika tidak segera disahkan menjadi perda maka lahan pertanian terancam bakal terus berkurang karena alih fungsi lahan.
“Kalau diterapkan, sawah yang telah ditetapkan jadi LP2B itu tidak boleh dialihfungsikan selama 20 tahun. Jika dilanggar maka didenda Rp50 juta dan kurungan penjara selama 6 bulan. Ini perlu kajian mendalam, jangan sampai dianggap enteng. Makanya kita juga sebenarnya sedang dalam kondisi dilematis dalam masalah pengesahan raperda ini,” kata Saldiman.
Untuk itu, anggota Fraksi Demokrat ini meminta agar semua pihak bersikap hati-hati dalam membahas raperda LP2B. Sampai saat ini pun menurutnya, belum ada kejelasan pemetaan wilayah, mana area sawah yang masuk LP2B dan mana yang bukan. Untuk area 11.700 hektar sesuai RTRW pun belum dipastikan lokasinya.
“Waktu kita meminta ke Bappeda dan instansi terkait lain, ternyata data tidak dimiliki. Cuma ada zona-zona saja, ini zona industri dan zona galian C. Sedangkan untuk zona produktivitas dan sebagainya itu belum jelas,” ungkap Saldiman.
Padahal, menurut dia, seharusnya pihak-pihak terkait segera memberikan data akurat terkait hal itu. Kekurangan data tersebut, dinilainya akibat lemahnya koordinasi antar SKPD. Untuk itu, pihak eksekutif dimintanya untuk segera melakukan evaluasi. Master plan pembangunan yang seharusnya dijadikan acuan mesti dibuka kembali.
“Ini menyangkut hak masyarakat. Kita tidak bisa sembarangan menetapkan perda. Kita butuh data pemetaan yang jelas biar lebih akurat dan perdanya berbobot. Naskah akademiknya juga gak ada. Kalau dipaksakan untuk disahkan, ini bahaya,” kata Saldiman.
Sementara itu, Sekretaris Pansus I DPRD dari PPP, H Uus Yusuf SE, berharap agar sosialisasi ke masyarakat lebih dikedepankan sekaligus dilakukan pemetaan wilayah. Sebab, pengesahan Raperda tersebut dinilai rawan apabila tanpa sosialisasi.
“Bagaimana kalau anak dari pemilik sawah yang sudah ditetapkan jadi LP2B ingin membangun rumah sebelum 20 tahun, sementara lahan yang dimililiki cuma itu? Masa harus bayar denda dan dipenjara?,” ujar Uus penuh tanya.
Sama seperti Saldiman, Uus pun menegaskan jika Pansus I sangat membutuhkan data pemetaan. Prioritas LP2B itu disarankan tanah-tanah pemerintah atau bengkok, baru melangkah pada tanah perorangan.
“Selama ini data 11.700 hektar lahan sawah pun belum jelas. Jadi, memang dilematis dalam raperda ini. Perlu adanya sosialisasi dulu kepada masyarakat. Kita tidak sembarangan mengesahkan raperda LP2B ini,” pungkas Uus.
0 comments:
Post a Comment